Satu, dua dan selanjutnya ku melangkahkan kaki ku ke arah mobil yang akan mengantarku menuju terminal bis. Sesekali ku berbalik, melihat ke arah mereka. Akhirnya tangis yang kami sembunyakan sejak tadi kini tak kuasa kami simpan lagi. Teman-teman dan sahabat-sahabat kecilku yang slalu menemaniku, akan ku tinggalkan mereka sejak saat itu, dan akan ku temui mereka lagi satu tahun selanjutnya. Enggan rasanya untuku melepas pelukan erat mereka. Bagiku mereka yang ku punya di balik keberadaan keluargaku.
Mobil itu melaju dengan cepatnya, ku lihat keadaan sekitar sejak perjalanan. Rumah-rumah, sawah-sawah, petani yang sedang asyik mengukuri tanaman lahannya, kebiasaan anak muda yang mengencangkan laju motornya dengan suara knalpot resing, beberapa pasangan pengantin yang nyongkolan dengan adat kami membuat macat kendaraan karena memenuhi setengah bagian jalan, suara sopir angkot yang menyentak beberapa pengendara sepeda motor yang menghalangi bagian depan. Tak terasa mobil itupun sampai di terminal. Mamiqku mulai berlari mencari bis tujuan Malang. Barang-barangku di pindah, dan aku akan berangkat tidak lebih dari setengah jam ini. Ku peluk ibu dengan keadaan hati yang berat dan seakan berkata “Ibu aku lakukan semua ini untukmu, untuk sedikit menebus kesalahan-kesalanku dulu”.
Dalam perjalanan itu fikiranku seakan penuh dengan bayangan-bayangan itu. Masa SMA yang slalu ku banggakan. Kenangan manis, pahit, asam, entahlah semua ku rasakan saat itu. Dosaku terlalu banyak untuk ku ungkap satu persatu. Kekecawaan yang selalu ku berikan kepada mereka orang tuaku. Sehingga kadang ku lihat rasa penyaslan mereka karna kehadiranku sebagai anaknya. Namun apa yang harus aku perbuat?. Setelah aku lulus dari MI di rumahku, aku pun tak pernah mendapatkan juara lagi untuk ku persembahkan kepada mereka. Dan kini aku ingin memperbaiki diriku, setidaknya aku bisa berubah dan lepas dari segala kesalahan-kesalahan dan juga dosa-dosaku yang dulu.
Ku lihat mamiqku yang sibuk dengan hendphone kecilnya sejak tadi, entah apa yang dia lakukan, setahuku tangannya terlihat kaku menekan tombol-tommbol itu. Ku pandangi terus wajahnya yang mulai mengeriput. Mamiqku sudah tua, mugkin umurnya juga sudah terlalu tua yang tak pernah tampak di wajahnya, tapi sampai saat inipun aku tak pernah bisa membuat sebuah senyum kebanggan darinya.
Pagi itu, setelah menyebrangi laut panjang dua pelabuhan, akupun sampai di tanah Jawa “Terminal Bis Malang”. Asing rasanya unntukku, ku lihat suasana dalam keramayan yang sekalipun tak pernah ku lihat di terminal pulauku. Ku lanjutkan lagi perjalanan panjang itu, aku heran sejauh ini belum juga sampai. Di mana tempat tujuan yang sesungguhnya aku akan di bawa?. Tapi rasa malas mengalahi rasa penasaranku, aku hanya diam di kursi tempat dudukku, menunggu sampai aku tiba di tempat itu.
Kumandang adzan maghrib itu mengantrkanku sampai di tempat tujuan, ku naiki becak yang belum juga ada di tempatku untuk sampai di tujuan terakhir. Ku baca pamflet besar yang tetulis di depan jalan “Pondok Pesantren Darul ‘Ulum” inikah tempat itu?. Entahlah yang aku tau becak yang mengantar kami masuk menuju jalan itu. Hingga kami sampai di rumah seorang kiyai yang menjabat sebagai sekertaris 1 di pondok yang besar ini. Aku takut, begitu takut untuk memulai hidup baru di tempat ini, aku malu, aku belum terlalu dalam mengenal agama seperti mereka-mereka. Beberapa hari sudah aku disini, aku di serahkan kepada pengurus salah satu pondok milik seorang kiyai tadi. Ku memasuki sebuah kamar kecil, kukenali mereka satu persatu. Mereka adalah pembina di asrama ini. Dan aku akan tinggal di kamar ini juga dan akan menjadi pembina seperti mereka. Apakah aku pantas menjadi seorang embina yang belum mengetahui ajaran agama yang cukup. Yang penting mereka mengatakan belajar dari hal yang kecil itu lebih baik.
Pagi itu aku mengikuti tes seleksi memasuki universitas dengan salah satu teman pembina yang memilih satu fajkultas denganku. Mamiqku menunggu hingga hasil tesku keluar. Setelah mengetahui aku lulus, Mamiq pulang meninggalkanku di tempat ini, iya aku belajar untuk hidup jauh dari mereka, tapi sekali lagi ini bukanlah pilihanku.
Beberapa hari aku disini, tangisku tak pernah berhenti karena rinduku terhadap mereka. Lebaran Idul Adha pun keberadaanku disini tanpa mereka. Sejenak ku telpon nomor kontak mamiq, suara itu membuatku bungkam dengan tangis, aku meminta maaf sedalam-dalamnya kepada mereka. Dengan apa aku harus menebus segala dosaku selama ini?. Tapi ibu dan ayahku begitu tenang menghadapiku, hanya dengan kata “sudah nak, jangan nangis. Inak sama mamiq juga minta maaf, baik-baik disana jangan mikirin rumah terus” yang mereka ucapkan. Tapi aku belajar dari itu semua, kerja keras orang tuaku yang ingin membutku berubah dengan mereka membawaku sejauh ini. Ku terapkan kata “InsyaAllah” untuk ku genggam dalam perosesku menuju kebaikan.
Setahun sudah lamanya aku berada dalam penjara suci ini. Ku merindukan saat-saat kepulanganku pada bulan Ramadhan kali ini. Hari itu pun dengan kegembiraan yang tak bisa ku ungkapkan, ku tunggu kehadiran mamiqku menjemputku. Setelah ku izin ibu Nyai, aku berangkat dengannya menuju terminal dan ku lanjutkan ke bandara. Kali itu, kali pertama ku naiki pesawat. Takut, senang.... entahlah apa yang ku rasakan sebenarnya. Yang jelas ini tak pernah ku rasakan sebelumnya.
Satu jam dalam pesawat, akhirnya pesawat itu mendarat di BIL (Bandara Internasional Lombok). Sepupuku yang menjemputku pun langsung memeluku dengan rasa rindu yang begitu berat telah kami pendam setahun ini. Aku pulang menuju rumah kecil, juga keluarga kecilku. Seperti apa mereka yang ku tinggalkan selama ini. Setibaku, ku ucapkan salam “Assalamualaikum...” serya memeluk ibu dan saudaraku, mereka juuga tak mau terkalahkan, kawan-kawan kecilku yang slalu ku sebut saudara. Namun keberadaanku disana tak lama, satu bulan setelah aku membantu orang tuaku sebentar mengurusi anak-anak sekolah. Aku mulai belajar mengajar menjadi seorang guru. Dan kepulanganku saat itu juga tak lupa ku kunjungi seorang guru yang telah membantu proses belajarku di MANku dulu. Bapak Halil Subagyono, yang selalu memberiku motivasi juga semangat untukku teruskan belajar sampai batas kemampuanku. Beliau juga yang memberikan petunjuk padaku untuk mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Beliau seperti ayahku di luar keluargaku. Senakal apapun aku dulu, beliau tak pernah menyerah untuk menariku lagi dala kesadaran. Setiap hari harus slalu ada yang aku ceritakan kepadanya, untukku jadikan sebuah pelajaran juga cerita ketika aku tua nanti.
Aku kembali merantau untuk mencari bekal ilmu sebagai kawan hidupku agar aku tidak salah melangkah lagi.